Minggu ini saya potong rambut. Dan selama 15 menit saya hanya bicara 2 kata, 'Terima Kasih'.
Setahun terakhir saya potong rambutnya di barbershop yang ada di dekat rumah, jadi kalau saya potong rambut setiap 1,5 atau 2 bulan, saya sudah datang kesitu 7-8 kali. Gak perlu dijelasin lagi dong mau potong model apa.
Tapi saya memang selalu bingung, topik apa yang harus diobrolkan saat sedang potong rambut. Obrolan ringan, takut barbernya terlalu santai dan motongnya jadi asal-asalan, obrolan serius takut barbernya terbawa emosi dan motongnya jadi kasar-kasaran.
Waktu pertama kali datang ke barbershop dekat rumah, saya sempat buka obrolan bahwa saya biasanya datang ke barbershop yang ada di jalan sebelah karena potongannya BAGUS, KEKINIAN DAN MURAH. Tapi sepertinya dia tidak tertarik...
ada sedikit kecut di wajahnya...
mulutnya sedikit miring...
terdengar gumaman kecil darinya... ".....jink"
Kesimpulan saya, ah mungkin pencernaannya kurang lancar.
Tapi ada alasan kenapa saya tidak potong rambut disitu sejak dia buka satu setengah tahun yang lalu. Pertama karena sudah nyaman dengan barbershop yang lama, orangnya juga gak banyak ngobrol karena tiap saya datang mereka selalu mutar musik.
Musiknya lagu lawas Manado... +100 poin
Tiap datang pas banget lagi sepi... +400 poin
KALO MAU NGOMONG HARUS SEDIKIT TERIAK KARENA MUSIKNYA KERAS... -499 Poin.
Alasan kedua kenapa saya tidak potong rambut di barbershop dekat rumah, tukang potong rambutnya... Gondrong.
Kita mungkin pernah dengar pertanyaan konyol, dokter kalo sakit berobatnya kemana? kan dokternya dia sendiri.
Sepertinya ada masalah rumit dari pertanyaan-pertanyaan konyol itu. Terbukti pada tukang cukur rambut dekat rumah ini, mungkin sudah ratusan kepala yang dia cukur, tapi dia bingung kalo dia potong rambut harus kemana, kan tukang cukurnya dia sendiri.

Ah balik lagi soal butuh ngobrol. Soal sirkel yang makin kecil sepertinya masalah sebagian besar para manusia umur 30an. Semakin berumur, semakin kecil sirkel pertemanannya. Jadi bagi saya umur sebenarnya bukan masalah, tapi soal topik obrolannya.
Masalahnya saat ini saya tidak punya ketertarikan tentang suatu topik. Kalau dulu bahas soal startup saya bisa tuh ngobrol panjang, bahas soal buku saya juga bisa ngikutin. Sekarang? Ngikutin yang rame di X aja udah males banget.

Saya coba cari apa topik yang bikin saya punya bahan obrolan. Saya coba aktif di grup-grup WhatsApp alumni...
Ternyata topik obrolan di grup alumni adalah kedukaan.
Tentu topik obrolan ini bisa jadi bahan kalo ketemu teman sekolah di jalan. Tapi ini bukan topik obrolan yang bisa dibicarakan panjang, lebih ke obrolan basa-basi yang sebenarnya kita sama-sama gak peduli juga, karena lama tidak berhubungan, tak ada kabar dan dengar teman atau guru meninggal, ya udah turut berduka saja.
Tak berhenti disitu, saya coba cari lagi topik obrolan, kali ini di facebook...
Saya lupa, sejak kapan algoritma beranda facebook saya berubah dari kumpulan pemuda-pemudi yang mengeluh soal tugas kuliah dan kegalauan cinta, menjadi kumpulan galeri foto manusia-manusia kecil lucu tak berdosa yang tak paham bagaimana kejamnya dinasti politik. hiyaaa...

Perbedaan generasi di sosial media bikin saya susah cari topik obrolan, orang-orang ributin hal yang bagi generasi saya bukan hal yang besar dan bahkan gak perlu dibicarakan.
Pernah ada yang lewat di timeline kena tipu beli skincare harga 20 ribuan. Di balasannya orang-orang pada marah dan memberi support ke orang yang ditipu. Gerakan cancel toko penjualnya pun dimulai, serang tiktoknya, komentar jahat di postingan instagramnya, rating buruk di google bisnisnya.
Saya tidak paham kenapa orang semarah itu, karena disaat bersamaan saat membaca tweet itu, saya baru saja memesan ayam geprek di Go-Food seharga 30 ribuan dan di notesnya, saya minta extra sambal, tapi pas sampe GAK ADA SAMBAL EXTRANYA!!!
Saya merasa ditipu, karena setelah menghabiskan ayam gepreknya saya merasa pedasnya kurang. Apakah saya harus mara-mara di sosmed juga?.
Tren mempermalukan atau meng-cancel orang atau bisnis ini tidak akan berhasil, gak ada solusinya juga, hanya luapan-luapan kemarahan gak jelas. Yang harusnya kita marah ke pasangan sendiri, malah dilampiaskan ke orang lain di sosmed.
Intinya, sekarang saya kalo mau ngobrol ya ngobrol, kalo nggak ya nggak. Kalo ngobrol jangan yang nggak-nggak.
0 Comments
Posting Komentar